Kamis, 24 September 2015

Mahasiswa dan Sendal Jepit

Mahasiswa dan Sendal Jepit


“Heh, kenapa pakai sendal jepit masuk kuliah? Keluar kamu!”

“Apa salahnya jika saya masuk memakai sendal jepit Pak?” Mahasiswa itu tampak gerah ketika dosen mengusirnya.

“Tidak sopan!”

“Hah! Tidak sopan? Dimana letak ketidaksopanannya? Lucu yah Bapak ini, Master tapi kok tidak bisa berpikir rasional sih. Apa hubungannya ketidaksopanan dengan sendal jepit Pak? Maunya Bapak lebih mempertanyakan apakah saya kerja tugas, apakah saya baca buku, atau sampai dimana diskusi saya mengenai mata kuliah ini!”

“Banyak bicara kamu! Tutup pintu dari luar…!” Wajah sang dosen tampak kemerahan.

Tanpa pikir panjang, mahasiswa itu segera berdiri dari tempat duduknya. Ia melenggang seenaknya, tampangnya begitu kesal dengan sikap dosen yang mengusirnya. Salah satu tangannya memegang sebuah binder berisi kertas seadanya sedangkan tangan lainnya mengurut kepalanya yang mungkin pening. Dosen baru saja mengusirnya dari ruangan, ia tidak berhak mengikuti kuliah kali ini. Tetapi mahasiswa yang menggunakanku ini tampaknya tidak peduli dengan pengusiran tersebut, ia mengayunkan aku sesuka hati keluar dari ruangan. Tampak begitu cuek dengan tatapan mahasiswa lain yang menggenakan sepatu. Dia tidak peduli.

Belum cukup sejam aku mengalasi kaki. Aku terpilih untuk ditukar dengan uang, mengalahkan sainganku yang lain di warung mace, sebuah warung kecil di samping pondokan tempat mahasiswa ini tinggal. Aku sebenarnya tidak tahu persis nama tuan pemilik warung tempat diriku di jual, tetapi begitulah yang sering aku dengar, mace, yah mahasiswa yang berbelanja di warung kecil itu kerap memanggil pemilik warung dengan sebutan mace. Beberapa hari yang lalu aku akhirnya tau kalau mace itu adalah panggilan gaul untuk mama atau ibu. Mungkin mahasiswa perantau itu merindukan sosok ibu mereka di kampung, dan mace yang menyediakan warung makan sekaligus barang kebutuhan sehari-hari itu bisa menepis sedikit rindu mereka. Di warung itu mereka bisa makan, makanan seperti masakan di rumah, dan jika kirimin belum datang kadang-kadang mereka mengutang dulu.

Orang yang melihatku pasti akan tahu persis kalau diriku masih baru, belum lama keluar dari plastik yang membungkusku. Setiap permukaanku masih keset, bahkan tak jarang menghasilkan suara mencicit. Warnaku yang terdiri atas dua warna masih sangat cerah, tidak kumal. Karetnya masih tebal. Tetapi mengapa dosen itu melarangnya masuk mengikuti kuliah hanya karena memakaiku? Bukankah aku jauh lebih bersih di bandingkan sepatu-sepatu yang dikenakan mahasiswa-mahasiswa lain?

Mungkin di pondokan sana, tempat mahasiswa ini tinggal, orang yang membeliku di warung mace tengah kelimpungan mencariku. Tadi setelah ia membeliku, ia sempat memakaiku masuk ke kamar mandi. Setelah itu ia masuk kamar dan menutup pintunya. Karena buru-buru hendak masuk kuliah, orang ini langsung saja menyambarku. Aku yang baru saja di beli telah raib di gunakan oleh mahasiswa yang bermaksud baik ingin mencari ilmu, tetapi malah di usir karena mengenakanku. Bisa jadi ia mendapatkan karma karena telah memakai barang yang bukan miliknya. Aku rasa bukan itu, aku menjadi terlarang karena manusia-manusia itu membuat aturan yang menyesakkan, etika bersepatu yang entah perbuatan siapa, mungkin hanya isu yang sengaja di sebar pembuat sepatu agar produknya laku.

Pijakanku memasuki sebuah gedung. Isi gedung terlihat agak berantakan. Di tempat ini, lebih banyak mahasiswa yang menggunakan teman-temanku, sesama sendal jepit. Beberapa di antara teman-temanku itu sudah tua dan usang bahkan telah menipis. Beberapa di antaranya meski sudah tua tapi masih bersih, tampaknya sang pemilik begitu merawatnya. Dan beberapa lainnya bertuliskan nama sang pemilik sebagai sebuah identitas.

Mahasiswa itu memarkirku di depan pintu. Melepasnya begitu saja hingga membuatku tergeletak tak beraturan, bahkan bagian kiriku tertelungkup karena di lepas bebas, tampaknya ia melepasku dengan rasa jengkel yang membuncah dan di lampiaskannya padaku. Ia pun memasuki sebuah ruangan tanpa alas kaki, ruangan yang di penuhi mahasiswa.

“Kok lesuh?” Tanya mahasiswa lain di dalam ruangan.

“Di usir dosen gara-gara memakai sendal jepit. Huh kesalnya…” Ia pun duduk di atas tikar tepat di samping temannya. “Kenapa sih dilarang masuk kuliah kalau memakai sendal jepit?”

“Hehe… Katanya sendal jepit tidak mencirikan intelektualitas. Tidak berkelas. Tapi kita ini kan mahasiswa, kenapa harus mengikuti aturan yang tak jelas seperti itu. Hehehe…”

“Iya, masalahnya pembatasan tidak logis itu membuat kita tak mampu mengaktualisasikan diri.

“Sudahlah! Oh iya tadi kamu di cari ketua himpunan, katanya proposal untuk kegiatan besok kamu simpan dimana?”

Percakapan merekapun berlanjut, tampak begitu serius.

###

“Sendal jepit siapa ini? Pinjam ya!” Belum juga ada jawaban dari pertanyaannya, mahasiswa lain segera mengenakanku. Membawaku berjalan menyusuri koridor hingga tiba di depan ruangan lain yang juga di huni oleh beberapa mahasiswa. Di dalam sana, ia di sambut tiga rekannya yang akan mengajaknya bermain domino.

“Malas pakai sepatu! Gerah!” Ucap seorang mahasiswa di depan pintu ruangan lain, ruangan yang berhadapan dengan tempatku di parkir. Tampak ia menjinjing sepatu yang telah usang.

“Jadi? Bukannya kamu tidak membawa sendal?” ucap mahasiswa lainnya yang tengah memegang map transparan berwarna hijau yang tampaknya berisi kertas-kertas.

Mahasiswa pertama melihatku, melihat arah mata temannya, mahasiswa lainnya ikut memandangiku. Mahasiswa pertama melangkah dengan hati-hati. Ia melirik ke dalam ruangan, yang dia lihat hanya empat orang yang disibukkan dengan kartu domino. Segera ia mengenakanku dan segera berjalan meninggalkan gedung itu bersama temannya.

Kaki dari kedua mahasiswa itu terdengar jelas menghentak lantai-lantai kampus. Menghentakkan dua pasang sendal jepit menelusuri koridor. Membawaku berjalan menjejaki tempat-tempat baru tapi mungkin tidak bagi sendal jepit di sebelahku yang tampak telah tua dan menipis.

“Aku lebih suka memakai sendal jepit, lebih nyaman. Sepatu adalah penyiksaan dan penindasan!”

“Aku rasa semua orang akan sependapat dengan hal itu. Aku juga tak begitu menyukai barang yang sangat menggerahkan itu. Memakainya berjam-jam membuat kakiku terasa terbakar.”

“Lihat sendal jepitku ini memang sudah butut tapi masalah pengalaman jangan di tanya, dia sudah senior, sudah makan asam garam jalanan jenis apapun! Malah kalau kamu tanya alamat ke dia pasti dia bakal mengantarkan kamu kesana.”

“Hallah… kamu ada-ada saja. Entah sendal jepit siapa ini, kayaknya masih baru, masih mulus.”

“Hahahaha…” Keduanya tertawa begitu renyah.

###

Aku sangat bahagia di ciptakan sebagai sendal jepit, walaupun di letakkan di bawah dan di injak-injak, setidaknya aku berguna bagi manusia. Aku melapisi antara kaki dengan sesuatu yang akan dipijaknya. Dengan harga yang terjangkau, aku bisa dimiliki oleh semua orang. Baik kaya ataupun miskin. Tak mengenal derajat bangsawan ataupun masyarakat biasa. Tidak memandang profesi, petani, pekerja kantor, ibu rumah tangga, mahasiswa dan lainnya.

Kami di produksi untuk siap menghadapi cuaca basah ataupun kering. Tak pernah mengeluh ketika di penuhi kuman kaki. Tak marah ketika di hitamkan debu. Lagipula apa gunanya aku marah dan mengeluh jika akhirnya masuk tong sampah juga. Ketika salah satu taliku putus atau ketika aku telah usang dan menipis.

Kami tercipta untuk menemani langkah kaki ke pantai. Sang pemilik bercerita dengan laut sedangkan kami akan bermesraan dengan pasir. Atau setia mengawali langkah menuju puncak gunung. Sang pemilik akan berbahagia mencapai puncak sedangkan kami bercinta dengan lumut basah. Juga tak pernah letih menghabiskan waktu untuk bersua dengan lantai atau bersahabat dengan karpet. Semua siap kami jejaki.

Tetapi banyak hal yang membuat orang-orang ini harus mewaspadai memakaiku. Mereka memakaiku dengan mencengkram tali penunjang kehidupanku menggunakan dua jarinya, cengkraman yang terlalu sering tersebut dapat menyebabkan jarinya bengkok. Tali karet yang menggesek di antara dua jari kaki juga bisa menyebabkan kulit kaki menjadi melepuh. Dan aku di desain tidak memiliki lengkungan pendukung yang bisa menyebabkan tumit sakit jika memakainya berjalan jauh. Aku tidak memiliki penutup sehingga bisa menyebabkan kulit sang pemakai menjadi belang jika di gunakan di bawah terik matahari.

Paling tidak resiko itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan sepatu. Sepatu bisa menyebabkan kaki panas bahkan bisa menghasilkan bau apek. Apalagi sepatu berhak tinggi, benda ini dapat menyebabkan betis dan tumit menjadi sakit bahkan bisa menyebabkan varisies yang bisa mengakibatkan seseorang sulit untuk berjalan bahkan berdiri.

Walaupun terkadang aku di nista tapi tak dipungkiri kalau aku sangat dibutuhkan. Lucunya, walaupun hargaku cukup terjangkau, tak jarang aku diambil orang secara sengaja atau pun tidak sengaja. Seperti hari ini, meski umurku belum lama tetapi aku telah dikenakan oleh empat orang sekaligus. Mungkin ke empat orang itu memiliki hubungan tetapi mereka tak saling tahu kalau aku dikenakan satu dan lainnya. Jika keadaannya begini, kadang aku sedih karena tercipta dan menyebabkan dosa.

###

Kedua pemuda itu memasuki sebuah gedung yang memiliki bentuk berbeda dari pada gedung-gedung yang telah aku jejaki sebelumnya. Gedung ini lebih megah dengan desain interior yang sangat menarik. Keramik-keramik yang lebih mewah. Lebih enak di pijak.

DILARANG MEMAKAI KAOS OBLONG DAN SENDAL JEPIT

Mahasiswa yang mengenakanku membaca pengumuman itu. Pengumuman yang tertera di depan ruangan. Di tulis dengan huruf Arial berukuran 80 yang di cetak di atas kertas A4 di tempel tepat di tengah pintu kaca.

“Gimana ini?” Tanyanya sambil melihatku.

“Tidak apa-apa!”

“Kamu yakin?”

Temannya tidak menjawab.

Mereka pun membuka pintu kaca itu. Seorang lelaki sedang sibuk dengan surat-surat, ia tampaknya menyadari kehadiran kedua mahasiswa tersebut.

“Mau apa kalian?”

“Mau ketemu Pembantu Rektor bagian Kemahasiswaan Pak.”

“Kalian baca tulisan di depan, memakai kaos oblong dan sendal jepit di larang masuk?” Pertanyaannya terdengar sinis.

“Memangnya kenapa Pak, kalau kami pakai kaos oblong dan sendal jepit?

“Itu berarti tidak sopan.”

Aaah… lagi-lagi masalah ketidaksopanan. Mengapa dengan mengenakanku, seseorang dikatakan tidak sopan? Apakah karena mengenakanku diasosiakan dengan pergi ke kamar mandi atau WC? Atau karena hargaku yang terlalu murah? Apakah kesopanan di dunia manusia sebatas materi?

“Bukannya kami tidak sopan Pak, tapi…

“Kami merasa terhina kalau kalian menggunakan sendal jepit.” Bapak itu langsung memotong pembicaraan sang mahasiswa.

Heh… dimana letak keterhinaannya? Aku yakin dia memakai sendal jepit bukan bermaksud menghina, begitu pula orang yang memakaiku untuk masuk kuliah, ia memakai sendal jepit tidak bermaksud menganggu jalannya perkuliahan.

“Siapa yang mau menghina Pak? Kami hanya ingin bertemu Bapak Pembantu Rektor. Kami menghormati beliau dan sepatu hanyalah teori etiket modern yang tidak harus digunakan. Hanya formalitas Pak!”

Yah tradisi bersepatu hanya teori etiket modern yang menyesatkan yang entah di buat oleh siapa dan sejak kapan. Jika batasan akan kesopanan itu masih problematik, lalu bagaimana mungkin kesopanan yang sifatnya sangat subjektik di pakai untuk aturan kolektif? Mahasiswa memang baik, selalu membelaku.

“Dengan gaya berpakaian kalian itu berarti kalian menganggap remeh Pak PR dan institusi kita.”

“Awalnya tidak sopan, kemudian menghina sekarang menganggap remeh. Bapak ini ada-ada saja. Apa hubungannya semua itu? Itu hanya perasaan Bapak saja sebagai individu bukan sebuah penghormatan terhadap birokrasi. Bapak berpikir pakai apa sih?

“Dasar, mahasiswa-mahasiswa tak berakhlak!”

“Tunggu dulu Pak. Apa hubungan akhlak dengan sendal jepit. Memangnya Tuhan menilai seseorang dari apa yang dikenakannya? Katanya ini kampus, katanya tempat ini adalah sarangnya orang intelektual, namun kenapa malah banyak yang berpikiran dangkal seperti Bapak? Bapak pasti lebih suka memakai sendal daripada sepatu yang membuat kaki berbau apek kan?”

“Kalian betul-betul mahasiswa kurang ajar! Keluar!” Suaranya terdengar begitu lantang. Menggema. Memantul di antara tembok-tembok bercat putih di ruangan tersebut.

“Ada apa ini?” Seorang lelaki bertubuh tinggi dan besar keluar dari sebuah ruangan. Ia mengenakan pakaian safari dan kakinya di alasi sendal jepit.

“Ini Pak, ada mahasiswa mau ketemu Bapak tapi mereka memakai kaos oblong dan sendal jepit, makanya saya larang masuk.”

“Hanya karena kami memakai kaos oblong dan sendal jepit dilarang ketemu Bapak, malah kami di katakan tidak sopan, menghina bahkan meremehkan. Saya heran Pak!”

“Bukankah jauh lebih banyak yang lebih menyukai memakai sendal jepit daripada sepatu. Seharusnya asas demokrasi di mulai dari sini Pak. Sendal jepit tidak layak menjadi alasan tata krama atau sejumlah etika yang sebenarnya bukan milik kita ” Sambung mahasiswa lainnya.

“Iya Pak, Bapak sendiri memakai sendal jepit, kenapa kami tidak bisa.”

“Itu dia Pak, Bapak pasti merasa lebih nyaman dengan menggunakan sendal itu. Sekarang,terlalu banyak barang yang dikomsumsi bukan berdasarkan fungsi tetapi hanyalah symbol belaka. Apalah guna mahasiswa berpakain bagus, rapi dan bersepatu tetapi tak berguna bagi masyarakat.”

Sang Bapak tampak kelimpungan mendapat serangan bertubi-tubi tersebut.

“Saya baru dari kamar kecil, jadi saya menggunakan ini agar tidak repot. Kami tidak bermaksud membelenggu kreativitas kalian dengan pelarangan menggunakan sendal jepit. Kami menyadari, birokrasi hanyalah manusia, tidak bersih dari nafsu, tetapi di tempat ini kami telah menyepakati untuk berpakaian rapi dan indikatornya itu tanpa kaos oblong dan sendal jepit. Saya tak usah menyampaikan banyak pembenaran mengenai ini. Sebenarnya maksud kalian menemui saya untuk apa?”

“Hmm… begini Pak, kami mau…”

“Kami mau mengurus beasiswa Pak!”

“Iya Pak, bagaimana caranya kami membeli sepatu, kalau biaya kos saja masih nunggak, makan pun harus ngutang.”

“Kalau begitu silahkan masuk!”

Kedua mahasiswa itu saling berpandangan, tampak begitu sumringah. Bapak yang di temuinya di awal tampak mencibir ke arah mereka. Namun mereka tidak peduli mereka segera masuk ke ruangan Bapak Pembantu Rektor.

Aku pikir mereka ikhlas membelaku rupanya mereka juga mengingikan sepatu. Benda yang nantinya akan meletakkan pada posisi terhina.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

EXPONEN

EXPONEN
Est. 2016