Mahasiswa dan Sendal Jepit
“Heh, kenapa pakai sendal jepit masuk kuliah? Keluar kamu!”
“Apa salahnya jika saya masuk memakai sendal jepit Pak?”
Mahasiswa itu tampak gerah ketika dosen mengusirnya.
“Tidak sopan!”
“Hah! Tidak sopan? Dimana letak ketidaksopanannya? Lucu yah
Bapak ini, Master tapi kok tidak bisa berpikir rasional sih. Apa hubungannya
ketidaksopanan dengan sendal jepit Pak? Maunya Bapak lebih mempertanyakan
apakah saya kerja tugas, apakah saya baca buku, atau sampai dimana diskusi saya
mengenai mata kuliah ini!”
“Banyak bicara kamu! Tutup pintu dari luar…!” Wajah sang dosen
tampak kemerahan.
Tanpa pikir panjang, mahasiswa itu segera berdiri dari tempat
duduknya. Ia melenggang seenaknya, tampangnya begitu kesal dengan sikap dosen
yang mengusirnya. Salah satu tangannya memegang sebuah binder berisi kertas
seadanya sedangkan tangan lainnya mengurut kepalanya yang mungkin pening. Dosen
baru saja mengusirnya dari ruangan, ia tidak berhak mengikuti kuliah kali ini.
Tetapi mahasiswa yang menggunakanku ini tampaknya tidak peduli dengan
pengusiran tersebut, ia mengayunkan aku sesuka hati keluar dari ruangan. Tampak
begitu cuek dengan tatapan mahasiswa lain yang menggenakan sepatu. Dia tidak
peduli.
Belum cukup sejam aku mengalasi kaki. Aku terpilih untuk ditukar
dengan uang, mengalahkan sainganku yang lain di warung mace, sebuah warung
kecil di samping pondokan tempat mahasiswa ini tinggal. Aku sebenarnya tidak
tahu persis nama tuan pemilik warung tempat diriku di jual, tetapi begitulah
yang sering aku dengar, mace, yah mahasiswa yang berbelanja di warung kecil itu
kerap memanggil pemilik warung dengan sebutan mace. Beberapa hari yang lalu aku
akhirnya tau kalau mace itu adalah panggilan gaul untuk mama atau ibu. Mungkin
mahasiswa perantau itu merindukan sosok ibu mereka di kampung, dan mace yang
menyediakan warung makan sekaligus barang kebutuhan sehari-hari itu bisa
menepis sedikit rindu mereka. Di warung itu mereka bisa makan, makanan seperti
masakan di rumah, dan jika kirimin belum datang kadang-kadang mereka mengutang
dulu.
Orang yang melihatku pasti akan tahu persis kalau diriku masih
baru, belum lama keluar dari plastik yang membungkusku. Setiap permukaanku
masih keset, bahkan tak jarang menghasilkan suara mencicit. Warnaku yang
terdiri atas dua warna masih sangat cerah, tidak kumal. Karetnya masih tebal.
Tetapi mengapa dosen itu melarangnya masuk mengikuti kuliah hanya karena
memakaiku? Bukankah aku jauh lebih bersih di bandingkan sepatu-sepatu yang
dikenakan mahasiswa-mahasiswa lain?
Mungkin di pondokan sana, tempat mahasiswa ini tinggal, orang
yang membeliku di warung mace tengah kelimpungan mencariku. Tadi setelah ia
membeliku, ia sempat memakaiku masuk ke kamar mandi. Setelah itu ia masuk kamar
dan menutup pintunya. Karena buru-buru hendak masuk kuliah, orang ini langsung
saja menyambarku. Aku yang baru saja di beli telah raib di gunakan oleh
mahasiswa yang bermaksud baik ingin mencari ilmu, tetapi malah di usir karena
mengenakanku. Bisa jadi ia mendapatkan karma karena telah memakai barang yang
bukan miliknya. Aku rasa bukan itu, aku menjadi terlarang karena
manusia-manusia itu membuat aturan yang menyesakkan, etika bersepatu yang entah
perbuatan siapa, mungkin hanya isu yang sengaja di sebar pembuat sepatu agar
produknya laku.
Pijakanku memasuki sebuah gedung. Isi gedung terlihat agak
berantakan. Di tempat ini, lebih banyak mahasiswa yang menggunakan
teman-temanku, sesama sendal jepit. Beberapa di antara teman-temanku itu sudah
tua dan usang bahkan telah menipis. Beberapa di antaranya meski sudah tua tapi
masih bersih, tampaknya sang pemilik begitu merawatnya. Dan beberapa lainnya
bertuliskan nama sang pemilik sebagai sebuah identitas.
Mahasiswa itu memarkirku di depan pintu. Melepasnya begitu saja
hingga membuatku tergeletak tak beraturan, bahkan bagian kiriku tertelungkup
karena di lepas bebas, tampaknya ia melepasku dengan rasa jengkel yang
membuncah dan di lampiaskannya padaku. Ia pun memasuki sebuah ruangan tanpa
alas kaki, ruangan yang di penuhi mahasiswa.
“Kok lesuh?” Tanya mahasiswa lain di dalam ruangan.
“Di usir dosen gara-gara memakai sendal jepit. Huh kesalnya…” Ia
pun duduk di atas tikar tepat di samping temannya. “Kenapa sih dilarang masuk
kuliah kalau memakai sendal jepit?”
“Hehe… Katanya sendal jepit tidak mencirikan intelektualitas.
Tidak berkelas. Tapi kita ini kan mahasiswa, kenapa harus mengikuti aturan yang
tak jelas seperti itu. Hehehe…”
“Iya, masalahnya pembatasan tidak logis itu membuat kita tak
mampu mengaktualisasikan diri.
“Sudahlah! Oh iya tadi kamu di cari ketua himpunan, katanya
proposal untuk kegiatan besok kamu simpan dimana?”
Percakapan merekapun berlanjut, tampak begitu serius.
###
“Sendal jepit siapa ini? Pinjam ya!” Belum juga ada jawaban dari
pertanyaannya, mahasiswa lain segera mengenakanku. Membawaku berjalan menyusuri
koridor hingga tiba di depan ruangan lain yang juga di huni oleh beberapa
mahasiswa. Di dalam sana, ia di sambut tiga rekannya yang akan mengajaknya
bermain domino.
“Malas pakai sepatu! Gerah!” Ucap seorang mahasiswa di depan
pintu ruangan lain, ruangan yang berhadapan dengan tempatku di parkir. Tampak
ia menjinjing sepatu yang telah usang.
“Jadi? Bukannya kamu tidak membawa sendal?” ucap mahasiswa
lainnya yang tengah memegang map transparan berwarna hijau yang tampaknya
berisi kertas-kertas.
Mahasiswa pertama melihatku, melihat arah mata temannya,
mahasiswa lainnya ikut memandangiku. Mahasiswa pertama melangkah dengan
hati-hati. Ia melirik ke dalam ruangan, yang dia lihat hanya empat orang yang
disibukkan dengan kartu domino. Segera ia mengenakanku dan segera berjalan
meninggalkan gedung itu bersama temannya.
Kaki dari kedua mahasiswa itu terdengar jelas menghentak
lantai-lantai kampus. Menghentakkan dua pasang sendal jepit menelusuri koridor.
Membawaku berjalan menjejaki tempat-tempat baru tapi mungkin tidak bagi sendal
jepit di sebelahku yang tampak telah tua dan menipis.
“Aku lebih suka memakai sendal jepit, lebih nyaman. Sepatu
adalah penyiksaan dan penindasan!”
“Aku rasa semua orang akan sependapat dengan hal itu. Aku juga
tak begitu menyukai barang yang sangat menggerahkan itu. Memakainya berjam-jam
membuat kakiku terasa terbakar.”
“Lihat sendal jepitku ini memang sudah butut tapi masalah
pengalaman jangan di tanya, dia sudah senior, sudah makan asam garam jalanan
jenis apapun! Malah kalau kamu tanya alamat ke dia pasti dia bakal mengantarkan
kamu kesana.”
“Hallah… kamu ada-ada saja. Entah sendal jepit siapa ini,
kayaknya masih baru, masih mulus.”
“Hahahaha…” Keduanya tertawa begitu renyah.
###
Aku sangat bahagia di ciptakan sebagai sendal jepit, walaupun di
letakkan di bawah dan di injak-injak, setidaknya aku berguna bagi manusia. Aku
melapisi antara kaki dengan sesuatu yang akan dipijaknya. Dengan harga yang
terjangkau, aku bisa dimiliki oleh semua orang. Baik kaya ataupun miskin. Tak
mengenal derajat bangsawan ataupun masyarakat biasa. Tidak memandang profesi,
petani, pekerja kantor, ibu rumah tangga, mahasiswa dan lainnya.
Kami di produksi untuk siap menghadapi cuaca basah ataupun
kering. Tak pernah mengeluh ketika di penuhi kuman kaki. Tak marah ketika di
hitamkan debu. Lagipula apa gunanya aku marah dan mengeluh jika akhirnya masuk
tong sampah juga. Ketika salah satu taliku putus atau ketika aku telah usang
dan menipis.
Kami tercipta untuk menemani langkah kaki ke pantai. Sang
pemilik bercerita dengan laut sedangkan kami akan bermesraan dengan pasir. Atau
setia mengawali langkah menuju puncak gunung. Sang pemilik akan berbahagia
mencapai puncak sedangkan kami bercinta dengan lumut basah. Juga tak pernah
letih menghabiskan waktu untuk bersua dengan lantai atau bersahabat dengan
karpet. Semua siap kami jejaki.
Tetapi banyak hal yang membuat orang-orang ini harus mewaspadai
memakaiku. Mereka memakaiku dengan mencengkram tali penunjang kehidupanku
menggunakan dua jarinya, cengkraman yang terlalu sering tersebut dapat
menyebabkan jarinya bengkok. Tali karet yang menggesek di antara dua jari kaki
juga bisa menyebabkan kulit kaki menjadi melepuh. Dan aku di desain tidak
memiliki lengkungan pendukung yang bisa menyebabkan tumit sakit jika memakainya
berjalan jauh. Aku tidak memiliki penutup sehingga bisa menyebabkan kulit sang
pemakai menjadi belang jika di gunakan di bawah terik matahari.
Paling tidak resiko itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan
menggunakan sepatu. Sepatu bisa menyebabkan kaki panas bahkan bisa menghasilkan
bau apek. Apalagi sepatu berhak tinggi, benda ini dapat menyebabkan betis dan
tumit menjadi sakit bahkan bisa menyebabkan varisies yang bisa mengakibatkan
seseorang sulit untuk berjalan bahkan berdiri.
Walaupun terkadang aku di nista tapi tak dipungkiri kalau aku
sangat dibutuhkan. Lucunya, walaupun hargaku cukup terjangkau, tak jarang aku
diambil orang secara sengaja atau pun tidak sengaja. Seperti hari ini, meski
umurku belum lama tetapi aku telah dikenakan oleh empat orang sekaligus.
Mungkin ke empat orang itu memiliki hubungan tetapi mereka tak saling tahu
kalau aku dikenakan satu dan lainnya. Jika keadaannya begini, kadang aku sedih
karena tercipta dan menyebabkan dosa.
###
Kedua pemuda itu memasuki sebuah gedung yang memiliki bentuk
berbeda dari pada gedung-gedung yang telah aku jejaki sebelumnya. Gedung ini
lebih megah dengan desain interior yang sangat menarik. Keramik-keramik yang
lebih mewah. Lebih enak di pijak.
DILARANG MEMAKAI KAOS OBLONG DAN SENDAL JEPIT
Mahasiswa yang mengenakanku membaca pengumuman itu. Pengumuman
yang tertera di depan ruangan. Di tulis dengan huruf Arial berukuran 80 yang di
cetak di atas kertas A4 di tempel tepat di tengah pintu kaca.
“Gimana ini?” Tanyanya sambil melihatku.
“Tidak apa-apa!”
“Kamu yakin?”
Temannya tidak menjawab.
Mereka pun membuka pintu kaca itu. Seorang lelaki sedang sibuk
dengan surat-surat, ia tampaknya menyadari kehadiran kedua mahasiswa tersebut.
“Mau apa kalian?”
“Mau ketemu Pembantu Rektor bagian Kemahasiswaan Pak.”
“Kalian baca tulisan di depan, memakai kaos oblong dan sendal
jepit di larang masuk?” Pertanyaannya terdengar sinis.
“Memangnya kenapa Pak, kalau kami pakai kaos oblong dan sendal
jepit?
“Itu berarti tidak sopan.”
Aaah… lagi-lagi masalah ketidaksopanan. Mengapa dengan
mengenakanku, seseorang dikatakan tidak sopan? Apakah karena mengenakanku
diasosiakan dengan pergi ke kamar mandi atau WC? Atau karena hargaku yang
terlalu murah? Apakah kesopanan di dunia manusia sebatas materi?
“Bukannya kami tidak sopan Pak, tapi…
“Kami merasa terhina kalau kalian menggunakan sendal jepit.”
Bapak itu langsung memotong pembicaraan sang mahasiswa.
Heh… dimana letak keterhinaannya? Aku yakin dia memakai sendal
jepit bukan bermaksud menghina, begitu pula orang yang memakaiku untuk masuk
kuliah, ia memakai sendal jepit tidak bermaksud menganggu jalannya perkuliahan.
“Siapa yang mau menghina Pak? Kami hanya ingin bertemu Bapak
Pembantu Rektor. Kami menghormati beliau dan sepatu hanyalah teori etiket
modern yang tidak harus digunakan. Hanya formalitas Pak!”
Yah tradisi bersepatu hanya teori etiket modern yang menyesatkan
yang entah di buat oleh siapa dan sejak kapan. Jika batasan akan kesopanan itu
masih problematik, lalu bagaimana mungkin kesopanan yang sifatnya sangat
subjektik di pakai untuk aturan kolektif? Mahasiswa memang baik, selalu
membelaku.
“Dengan gaya berpakaian kalian itu berarti kalian menganggap
remeh Pak PR dan institusi kita.”
“Awalnya tidak sopan, kemudian menghina sekarang menganggap
remeh. Bapak ini ada-ada saja. Apa hubungannya semua itu? Itu hanya perasaan
Bapak saja sebagai individu bukan sebuah penghormatan terhadap birokrasi. Bapak
berpikir pakai apa sih?
“Dasar, mahasiswa-mahasiswa tak berakhlak!”
“Tunggu dulu Pak. Apa hubungan akhlak dengan sendal jepit.
Memangnya Tuhan menilai seseorang dari apa yang dikenakannya? Katanya ini
kampus, katanya tempat ini adalah sarangnya orang intelektual, namun kenapa
malah banyak yang berpikiran dangkal seperti Bapak? Bapak pasti lebih suka
memakai sendal daripada sepatu yang membuat kaki berbau apek kan?”
“Kalian betul-betul mahasiswa kurang ajar! Keluar!” Suaranya
terdengar begitu lantang. Menggema. Memantul di antara tembok-tembok bercat
putih di ruangan tersebut.
“Ada apa ini?” Seorang lelaki bertubuh tinggi dan besar keluar dari
sebuah ruangan. Ia mengenakan pakaian safari dan kakinya di alasi sendal jepit.
“Ini Pak, ada mahasiswa mau ketemu Bapak tapi mereka memakai
kaos oblong dan sendal jepit, makanya saya larang masuk.”
“Hanya karena kami memakai kaos oblong dan sendal jepit dilarang
ketemu Bapak, malah kami di katakan tidak sopan, menghina bahkan meremehkan.
Saya heran Pak!”
“Bukankah jauh lebih banyak yang lebih menyukai memakai sendal
jepit daripada sepatu. Seharusnya asas demokrasi di mulai dari sini Pak. Sendal
jepit tidak layak menjadi alasan tata krama atau sejumlah etika yang sebenarnya
bukan milik kita ” Sambung mahasiswa lainnya.
“Iya Pak, Bapak sendiri memakai sendal jepit, kenapa kami tidak
bisa.”
“Itu dia Pak, Bapak pasti merasa lebih nyaman dengan menggunakan
sendal itu. Sekarang,terlalu banyak barang yang dikomsumsi bukan berdasarkan
fungsi tetapi hanyalah symbol belaka. Apalah guna mahasiswa berpakain bagus,
rapi dan bersepatu tetapi tak berguna bagi masyarakat.”
Sang Bapak tampak kelimpungan mendapat serangan bertubi-tubi
tersebut.
“Saya baru dari kamar kecil, jadi saya menggunakan ini agar
tidak repot. Kami tidak bermaksud membelenggu kreativitas kalian dengan
pelarangan menggunakan sendal jepit. Kami menyadari, birokrasi hanyalah
manusia, tidak bersih dari nafsu, tetapi di tempat ini kami telah menyepakati
untuk berpakaian rapi dan indikatornya itu tanpa kaos oblong dan sendal jepit.
Saya tak usah menyampaikan banyak pembenaran mengenai ini. Sebenarnya maksud
kalian menemui saya untuk apa?”
“Hmm… begini Pak, kami mau…”
“Kami mau mengurus beasiswa Pak!”
“Iya Pak, bagaimana caranya kami membeli sepatu, kalau biaya kos
saja masih nunggak, makan pun harus ngutang.”
“Kalau begitu silahkan masuk!”
Kedua mahasiswa itu saling berpandangan, tampak begitu
sumringah. Bapak yang di temuinya di awal tampak mencibir ke arah mereka. Namun
mereka tidak peduli mereka segera masuk ke ruangan Bapak Pembantu Rektor.
0 komentar:
Posting Komentar